Hakekat
Bid’ah Lengkap Dari A Sampai Z, (Mewaspadai Wahabi)
Menyangkut bid’ah yang sering dituduhkan oleh kaum
Salafi Wahabi terhadap amalan kaum muslimin di berbagai belahan dunia, ada
hadis Rasulullah Saw. yang sering mereka kemukakan, yaitu:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم)
“Adapun sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik
perkataan ialah Kitab Allah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara
baru yang diada-adakan), dan setiap bid’ah itu kesesatan” (HR. Muslim).
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ
وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي)
“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka
tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka
tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan
adalah Kitab Allah (al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang
diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah
itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka” (HR.
Nasa’i)
Pada hadis di atas, ada dua hal yang disebut sebagai
perkara yang paling buruk, yaitu: 1. Muhdatsat 2. Bid’ah.
___________________________
___________________________
Oleh karena itu Supaya Jangan Sembarangan Mengklaim
Ahli Bid’ah Kepada Orang Lain mari kita kupas tuntas Hakekat Bid’ah Lengkap
Dari A Sampai Z
Pengertian Bid’ah
Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:
مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ
سَابِقٍ
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani
dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ
بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ
الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ
ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ
السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ
بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ
وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل)
الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا
فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa
mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak
Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa
bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku
bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis
sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl),
artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk
al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya:
“Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid’u
digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna
Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS.
al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya
adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah
didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”,
menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku
bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya
penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ
عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya
secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih
al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn
al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ
مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا
يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ
الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti
tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam
pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang
menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang
mengajak kepada kesesatan”.
Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah
Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan
al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ
ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً
أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ
: مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ
مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب ” مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian.
Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi
Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka
yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua:
Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun
Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh
al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib
asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ
مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah
yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan
bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh
Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi’i ini
disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat
madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di
antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam,
an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari
kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-’Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir,
al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain.
Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi,
az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami
dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam
syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari
dan Muslim)
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa
Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak
adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak
bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi
dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam
cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah
‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara
baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.
Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn
ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na
al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya
bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ
اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا
عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang
mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka
mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka,
tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan
Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah.
Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang
muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa
berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena
mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis
rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi,
hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah
kepada Allah.
Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha
‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas
mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu
untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji
mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam
Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan
oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya
semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk
beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi
isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari
tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah
sepenuhnya kepada Allah.
2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa
ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً
سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam
sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut,
dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa
berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam
sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari
orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari
dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah
mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini
harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan
sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang
ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk
berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits
tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini
berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah
dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah
merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang
teguh dengannya.
3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah
bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam
syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari
dan Muslim)
Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang
adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa
terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru
dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah
mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam
agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan
dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru
itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena
menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini
digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan
kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai
perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah
hasanah.
4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam
al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn
al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa
beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan
sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini,
dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah
shalat tarawih dengan berjama’ah.
Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah
kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh
Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ
وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa
‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap
kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam
Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.
Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini,
‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha…”, artinya: “Saya sendiri yang
menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.
6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha
sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat
Dluha ini beliau berkata:
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا
لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal
itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR.
Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)
Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat
‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه
ابن أبي شيبة)
“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah
sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)
Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn
Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.
7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari
meriwayatkan dari sahabat Rifa’ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’)
berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika
beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima
Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا
كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah
tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab:
“Saya Wahai Rasulullah…”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ
مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba
untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan:
“Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir
di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang
ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah
ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:
هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ
النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: “وَلاَ
يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ” قَبْلَ “تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ” وَبَعْدَهُ: “فَلَكَ الْحَمْدُ
عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”. قُلْتُ: قَالَ
أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ
وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.
“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari
Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita”
sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat
“Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya
(an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh)
dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta
beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah”
(Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).
Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di
antaranya:
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang
yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah
seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ
الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis
shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi
Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)
Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan
kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang
belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian
berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah
yang telah ditinggalkan orang.
Salah seorang dari kalangan tabi’in ternama, yaitu
al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang
akan dibunuh, beliau menjawab:
صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ
وَهُمَا فَاضِلاَنِ.
“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan
oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang
(sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab
al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)
2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh
sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada
bagian Kitab al-Jum’ah).
3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf
al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi’in yang mulia
dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini
disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua
menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut.
Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada
para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik
sedikitpun pada huruf-hurufnya.
Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan,
beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada
setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan
titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah
pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya’mur tersebut kemudian semua umat Islam
hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah
mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak
pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan
mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa
‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi’in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi’in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.
Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan
setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz
di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu’
(setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini
kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!
4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat
Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah
ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-’Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah
ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia
ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah
sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?!
Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah
ar-Rasyid?!
5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah
sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh
al-’Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani (W 852 H), al-Hafizh
as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar
al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn ‘Abd
as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (W
1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih
banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.
6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan
adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam
kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’,
al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar
lainnya.
7. Menulis kalimat “Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam”
setelah menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah
dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di
masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam
surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila
Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.
8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah
dan orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa’iyyah, al-Qadiriyyah,
an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat.
Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian
sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya.
Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan
awalnya.
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah. di
antaranya sebagai berikut:
1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama
(Ushuluddin), di antaranya seperti:
A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar)
Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan
tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh
perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia
itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan
keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan
keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan
bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir,
melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan
tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa’at Nabi. Golongan yang berkeyakinan
seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali
mengingkari Qadar Allah adalah Ma’bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini
telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya’mur.
B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal
dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka
berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba
tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya.
Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara
sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama
sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.
C. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan
orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.
D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan
orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah
para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap
orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup
mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang
yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim
ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd
al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.
2. Bid’ah-bid’ah ‘Amaliyyah yang buruk. Contohnya
menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah
menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para
ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa
menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh.
Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai
mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah
nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau
membuang Ha’ dari kata Allah.
Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah
1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah
biasa berkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat
al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)
Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata
tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah dan atau al-Khulafa’ ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap
sebagai bid’ah sesat .
Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma’ atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma’ atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits
riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun
bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat
di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)
Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab
atas kaum ‘Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang
mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu
secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh.
Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.
Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu
Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar
yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.
2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya
berkata: “Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah
diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih
hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak
berlaku lagi”.
Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ
بِدَلِيْلٍ
“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh
ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.
Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang
menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam
Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man
Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang
baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana
‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu
ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna
Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak
hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”.
Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian
mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani
sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits
yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus
di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah
bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa
nafsu” belaka.
3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang
berkata: “Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan
Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir
memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan
dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut
wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan
harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian
harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah
melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas.
Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah
ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.
Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil
itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.
Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus,
namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah
keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena
seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau
tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti
bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat
dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada
Rasulullah sendiri?!
4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah
mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh
hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits
yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.
Jawab:
Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:
Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:
فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ
بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ
الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ
عَليْه وَسَلّمَ “فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ” وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ
الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai
kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan
masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga
terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits:
“Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah
perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.
As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:
قَوْلُهُ “سُنَّةً حَسَنَةً” أَيْ
طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ
وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya
adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah
dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau
tidak”.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath
al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ
كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ،
وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ
مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah
menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan
tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah,
dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang
buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dengan demikian para ulama sendiri yang telah
mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah
hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang
mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang
mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat
pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.
Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa
penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah
atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian
untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau
sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim
padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.
5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah
mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan
definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa
saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu
yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.
Jawab:
Subhanallah al-’Azhim. Apakah berjama’ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i’tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i’rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i’rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Subhanallah al-’Azhim. Apakah berjama’ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i’tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i’rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i’rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa
(Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara’?! Bukankah ketika sebuah lafazh
diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka
harus dipahami dengan makna syar’i dan dianggap sebagai haqiqah syar’iyyah?!
Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah
dalam syara’, lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan
mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang
sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam
agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah
mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani
mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits
“Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah
hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn
‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di
dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits
tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit
pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang
jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan.
Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan
hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama
ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap
bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.
Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:
Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً
لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا
لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)
“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat
yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang
yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR.
at-Tirmidzi dan Ibn Majah)
Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama
kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.
6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah
mengatakan: “Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya
perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah
mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.
Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara’ yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.
Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara’ yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara
itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri
yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah
melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai
Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i’rab-nya?! Padahal jelas hal itu
tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak
tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:
التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم
“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan
bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.
Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak
melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu
yang haram.
Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.
Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.
Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan
beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja
beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan
memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut.
Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena
perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang
yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat
mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat Rasulullah, para tabi’in, para ulama
Salaf dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada
dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam
tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan
sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini.
Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka kita kutip di
sini.
Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan
pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan
seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita
bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua ulama
tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan
para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau kelompok yang “keras kepala”
seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal dari para ulama
dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan
Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama
Hadits, Fikih dan lainnya?! Hasbunallah.
0 komentar:
Posting Komentar