AKHIR-AKHIR
INI, di Tanah Air kita muncul banyak sekali kelompok-kelompok
pengajian dan studi keislaman yang mengidentitaskan diri mereka sebagai
pengikut dan penyebar ajaran para Salaf Saleh. Mereka sering
mengatasnamakan diri mereka sebagai kelompok Salafi. Dengan didukung
dana yang teramat besar dari negara donor, yang tidak lain adalah
negara asal kelompok ini muncul, mereka menyebarkan akidah-akidah yang
bertentangan dengan ajaran murni keislaman baik yang berlandaskan
al-Quran, hadis, sirah dan konsensus para salaf maupun khalaf. Dengan
menggunakan ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang
kafir, zindiq dan munafiq, mereka ubah tujuan teks-teks tersebut untuk
menghantam para kaum muslimin yang tidak sepaham dengan akidah mereka.
Mereka beranggapan, bahwa hanya akidah mereka saja yang mengajarkan
ajaran murni monoteisme dalam tubuh Islam, sementara ajaran selainnya,
masih bercampur syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang harus
dijauhi, karena sesat dan menyesatkan. Untuk itu, dalam makalah ringkas
ini akan disinggung selintas tentang apa dan siapa mereka. Sehingga
dengan begitu akan tersingkap kedok mereka selama ini, yang mengaku
sebagai bagian dari Ahlusunnah dan penghidup ajaran Salaf Saleh.
DEFINISI
SALAFI Jika dilihat dari sisi bahasa, Salaf berarti yang telah
lalu.[2] Sedang dari sisi istilah, salaf diterapkan untuk para sahabat
Nabi, tabi’in dan tabi’ tabi’in yang hidup di abad-abad permulaan
kemunculan Islam.[3] Jadi, salafi adalah kelompok yang ‘mengaku’
sebagai pengikut pemuka agama yang hidup dimasa lalu dari kalangan para
sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Baik yang berkaitan dengan akidah,
syariat dan prilaku keagamaan.[4] Bahkan sebagian menambahkan bahwa
Salaf mencakup para Imam Mazhab, sehingga salafi adalah tergolong
pengikut mereka dari sisi semua keyakinan keagamaannya.[5] Muhammad Abu
Zuhrah menyatakan bahwa Salafi adalah kelompok yang muncul pada abad
ke-empat hijriyah, yang mengikuti Imam Ahmad bin Hambal. Kemudian pada
abad ketujuh hijriyah dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah.[6] Pada
hakekatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi yang dapat kita temui
di Tanah Air sekarang ini, mereka adalah golongan Wahabi yang telah
diekspor oleh pamuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia. Dikarenakan
istilah Wahabi begitu berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri
mereka dengan istilah Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut
diekspor keluar Saudi.
Kesan
negatif dari sebutan Wahabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari
beberapa hal, salah satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya
banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca
kemenangan keluarga Saud -yang membonceng seorang rohaniawan
menyimpang bernama Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi- atas semua
kabilah di jazirah Arab atas dukungan kolonialisme Inggris. Akhirnya
keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama
keluarga tersebut. Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga
negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus
minyak bumi. Sedang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi
akidah negara tadi yang tidak bisa diganggu gugat. Selain menindak
tegas penentang akidah tersebut, Muhammad bin Abdul Wahab juga terus
melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain diluar
wilayah Saudi.[7]
Sayyid
Hasan bin Ali as-Saqqaf, salah satu ulama Ahlusunnah yang sangat getol
mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke
negara-negara muslim, dalam salah satu karyanya yang berjudul
“as-Salafiyah al-Wahabiyah” menyatakan: “Tidak ada perbedaan antara
salafiyah dan wahabiyah. Kedua istilah itu ibarat dua sisi pada
sekeping mata uang. Mereka (kaum salafi dan wahabi) satu dari sisi
keyakinan dan pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal
dengan al-Wahhabiyah al-Hambaliyah. Namun, sewaktu diekspor keluar
(Saudi), mereka mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy”. Sayyid
as-Saqqaf menambahkan: “Maka kelompok salafi adalah kelompok yang
mengikuti Ibnu Taimiyah dan mengikuti ulama mazhab Hambali. Mereka
semua telah menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai imam, tempat rujukan
(marja’), dan ketua. Ia (Ibnu Taimiyah) tergolong ulama mazhab Hambali.
Sewaktu mazhab ini berada di luar Jazirah Arab, maka tidak disebut
dengan Wahabi, karena sebutan itu terkesan celaan”. Dalam menyinggung
masalah para pemuka kelompok itu, kembali Sayyid as-Saqqaf mengatakan:
“Pada hakekatnya, Wahabiyah terlahir dari Salafiyah. Muhammad bin Abdul
Wahab adalah seorang yang menyeru untuk mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah
dan para pendahulunya dari mazhab Hambali, yang mereka kemudian
mengaku sebagai kelompok Salafiyah”.
Dalam
menjelaskan secara global tentang ajaran dan keyakinan mereka,
as-Saqqaf mengatakan: “Al-Wahabiyah atau as-Salafiyah adalah pengikut
mazhab Hambali, walaupun dari beberapa hal pendapat mereka tidak sesuai
lagi (dan bahkan bertentangan) dengan pendapat mazhab Hambali sendiri.
Mereka sesuai (dengan mazhab Hambali) dari sisi keyakinan tentang
at-Tasybih (Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Tajsim (Allah
berbentuk mirip manusia), dan an-Nashb yaitu membenci keluarga Rasul saw
(Ahlul-Bait) dan tiada menghormati mereka”.[8] Jadi, menurut
as-Saqqaf, kelompok yang mengaku Salafi adalah kelompok Wahabi yang
memiliki sifat Nashibi (pembenci keluarga Nabi saw), mengikuti
pelopornya, Ibnu Taimiyah.
PELOPOR PEMIKIRAN “KEMBALI KE METODE AJARAN SALAF”
Ahmad
bin Hambal adalah sosok pemuka hadis yang memiliki karya terkenal,
yaitu kitab “Musnad”. Selain sebagai pendiri mazhab Hambali, ia juga
sebagai pribadi yang menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf
Saleh. Secara umum, metode yang dipakai oleh Ahmad bin Hambal dalam
pemikiran akidah dan hukum fikih, adalah menggunakan metode tekstual.
Oleh karenanya, ia sangat keras sekali dalam menentang keikutsertaan
dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama. Ia beranggapan,
kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan
ajaran-ajaran lain –yang dianggap ajaran diluar Islam yang kemudian
diadopsi oleh sebagian muslim- akan membahayakan nasib teks-teks agama.
Dari situ akhirnya ia menyerukan untuk berpegang teguh terhadap teks,
dan mengingkari secara total penggunaan akal dalam memahami agama,
termasuk proses takwil rasional terhadap teks. Ia beranggapan, bahwa
metode itulah yang dipakai Salaf Saleh dalam memahami agama, dan metode
tersebut tidak bisa diganggu gugat kebenaran dan legalitasnya.
Syahrastani
yang bermazhab ‘Asyariyah dalam kitab “al-Milal wa an-Nihal” sewaktu
menukil ungkapan Ahmad bin Hambal yang menyatakan: “Kita telah
meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya)
itu pula yang kita yakini”.[9] Konsekwensi dari ungkapan Ahmad bin
Hambal di atas itulah, akhirnya ia beserta banyak pengikutnya –termasuk
Ibnu Taimiyah- terjerumus kedalam jurang kejumudan dan kaku dalam
memahami teks agama. Salah satu dampak konkrit dari metode di atas tadi
adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam
konsep ketuhanan, lebih lagi kelompok Salafi kontemporer, pendukung
ajaran Ibnu Taimiyah al-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya
dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi.
Suatu
saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hambal. Lantas, ia bertanya
tentang beberapa hadis. Hingga akhirnya, pertanyaan sampai pada
hadis-hadis semisal: “Tuhan pada setiap malam turun ke langit Dunia”,
“Tuhan bisa dilihat”, “Tuhan meletakkan kaki-Nya kedalam Neraka” dan
hadis-hadis semisalnya. Lantas ia (Ahmad bin Hambal) menjawab: “Kita
meyakini semua hadis-hadis tersebut. Kita membenarkan semua hadis tadi,
tanpa perlu terhadap proses pentakwilan”.[10] Jelas metode semacam ini
tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Jika
diperhatikan lebih dalam lagi, betapa al-Quran dalam ayat-ayatnya sangat
menekankan penggunaan akal dan pikiran dalam bertindak.[11] Begitu
juga hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, pengingkaran secara mutlak
campur tangan akal dan pikiran manusia dalam memahami ajaran agama akan
mengakibatkan kesesatan dan bertentangan dengan ajaran al-Quran dan
as-Sunnah itu sendiri.
Dapat
kita contohkan secara singkat penyimpangan yang terjadi akibat
penerapan konsep tadi. Jika terdapat ayat semisal “Tuhan Yang Maha
Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy”,[12] atau seperti hadis yang
menyatakan “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada setiap
malam”[13], lantas, disisi lain kita tidak boleh menggunakan akal dalam
memahaminya, bahkan cukup menerima teks sebagaimana adanya, maka kita
akan terbentur dengan ayat lain dalam al-Quran seperti ayat “Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia”.[14] Apakah ayat dari surat Thoha
tadi berartikan bahwa Allah bertengger di atas singgasana Arsy
sebagaimana Ibnu Taimiyah duduk di atas mimbar, atau turun ke langit
dunia sebagaimana Ibnu Taimiyah turun dari atas mimbarnya, yang itu
semua berarti bertentangan dengan ayat dari surat as-Syuura di atas.
Jadi akan terjadi kontradiksi dalam memahami hakekat ajaran agama
Islam. Mungkinkah Islam sebagai agama paripurna akan terdapat
kontradiksi? Semua kaum muslimin pasti akan menjawabnya dengan negatif,
apalagi berkaitan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran
Islam. Melihat kelemahan metode dasar yang ditawarkan oleh Ahmad bin
Hambal semacam ini, meniscayakan adanya pengeroposan ajaran-ajaran yang
bertumpu pada metode tadi. Dalam masalah ini, kembali as-Sahrastani
mengatakan: “Berbagai individu dari Salaf telah menetapkan sifat azali
Tuhan, semisal; sifat Ilmu, Kemampuan (Qudrat)…dan mereka tidak
membedakan antara sifat Dzati dan Fi’li. Sebagaimana mereka juga telah
menetapkan sifat khabariyah buat Tuhan, seperti; dua tangan dan wajah
Tuhan. Mereka tidak bersedia mentakwilnya, dan mengatakan: itu semua
adalah sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks agama. Semua itu kita
sebut sebagai sifat khabariyah”.
Dalam
kelanjutan dari penjelasan mengenai kelompok Salafi tadi, kembali
as-Sahrastani mengatakan: “Para kelompok Salafi kontemporer meyakini
lebih dari para kelompok Salaf itu sendiri. Mereka menyatakan,
sifat-sifat khabari bukan hanya tidak boleh ditakwil, namun harus
dimaknai secara zahir. Oleh karenanya, dari sisi ini, mereka telah
terjerumus kedalam murni keyakinan tasybih. Tentu, permasalahan semacam
ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para salaf itu
sendiri”.[15]
Jadi
sesuai dengan ungkapan Syahrastani, bahwa mayoritas para pengikut
kelompok Salafi kontemporer telah menyimpang dari keyakinan para Salaf
itu sendiri. Itu jika kita telaah secara global tentang konsep memahami
teks. Akibatnya, mereka akan terjerumus kepada kesalahan fatal dalam
mengenal Tuhan, juga dalam permasalahn-permasalahan lainnya. Padahal,
masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang jelas-jelas para
Salaf meyakininya, sedang pengaku pengikut salaf kontemporer (salafi)
justru mengharamkan dengan alasan syirik, bidah, ataupun khurafat.
Perlu ada tulisan tersendiri tentang hal-hal tadi, dengan disertai
kritisi pendapat dan argumentasi para pendukung kelompok Wahabisme.[16]
Itulah yang menjadi alasan bahwa para pengikut Salafi (kontemporer)
itu sudah banyak menyimpang dari ajaran para Salaf itu sendiri,
termasuk sebagian ajaran imam Ahmad bin Hambal sendiri.[17]
FAKTOR MUNCULNYA KELOMPOK SALAFI
Dalam
melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat
Salaf menurut Imam Ahmad bin Hambal dapat diperhatikan dari kekacauan
zaman saat itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi,
kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah
yang meyakini keturutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrim dan
radikal dalam proses memahami agama. Sedang disisi lain, munculnya
pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama,
menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama
Islam, termasuk Ahmad bin Hambal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran
semacam itu, lantas Ahmad bin Hambal memutuskan untuk kembali kepada
metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.
Syeikh
Abdul Aziz ‘Izzuddin as-Sirwani dalam menjelaskan faktor kemunculan
pemikiran kembali kepada metode Salaf, mengatakan: “Dikatakan bahwa
penyebab utama untuk memegang erat metode itu –yang sangat nampak pada
pribadi Ahmad bin Hambal- adalah dikarenakan pada zamannya banyak
sekali dijumpai fitnah-fitnah, pertikaian dan perdebatan teologis. Dari
sisi lain, berbagai pemikiran aneh, keyakinan-keyakinan yang
bermacam-macam dan beraneka ragam budaya mulai bermunculan. Bagaimana
mungkin semua itu bisa muncul di khasanah kelimuan Islam. Oleh
karenanya, untuk menyelamatkan keyakinan-keyakinan Islam, maka ia
menggunakan metode kembali kepemikiran Salaf”.[18] Hal semacam itu pula
yang dinyatakan oleh as-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa an-Nihal.
Fenomena
semacam ini juga bisa kita perhatikan dalam sejarah hidup Abu Hasan
al-Asy’ari pendiri mazhab al-Asyariyah. Setelah ia mengumumkan diri
keluar dari ajaran Muktazilah yang selama ini ia dapati dari ayah
angkatnya, Abu Ali al-Juba’i seorang tokoh Muktazilah dizamannya.
Al-Asy’ari dalam karyanya yang berjudul “al-Ibanah” dengan sangat jelas
menggunakan metode mirip yang digunakan oleh Ahmad bin Hambal. Namun
karena ia melihat bahwa metode semacam itu terlampau lemah, maka ia
agak sedikit berganti haluan dengan mengakui otoritas akal dalam
memahami ajaran agama, walau dengan batasan yang sangat sempit. Oleh
karenanya, dalam karya lain yang diberi judul “al-Luma’ ” nampak sekali
betapa ia masih mengakui campur tangan dan keturutsertaan akal dalam
memahami ajaran agama, berbeda dengan metode Ahmad bin Hambal yang
menolak total keikutsertaan akal dalam masalah itu. Dikarenakan
al-Asy’ari hidup di pusat kebudayaan Islam kala itu, yaitu kota
Baghdad, maka sebutan Ahlusunnah pun akhirnya didentikkan dengan
mazhabnya. Sedang mazhab Thohawiyah dan Maturidiyah yang kemunculannya
hampir bersamaan dengan mazhab Asyariyah dan memiliki kemiripan
dengannya, menjadi kalah pamor dimata mayoritas kaum muslimin, apalagi
ajaran Ahmad bin Hambal sudah tidak lagi dilirik oleh kebanyakan kaum
muslimin. Lebih-lebih pada masa kejayaan Ahlusunnah, kemunculan
kelompok Salafi kontemporer yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang
sebagai sempalan dari mazhab imam Ahmad bin Hambal, pun tidak luput
dari ketidaksimpatian kelompok mayoritas Ahlusunnah. Ditambah lagi
dengan penyimpangan terhadap akidah Salaf yang dilakukan Salafi
kontemporer (pengikut Ibnu Taimiyah) -yang dikomandoi oleh Muhammad bin
Abdul Wahab an-Najdi- serta tindakan arogansi yang dilancarkan para
pengikut Salafi tersebut terhadap kalompok lain yang dianggap tidak
sependapat dengan pemikiran mereka.
KECURANGAN KELOMPOK SALAFI
Setiap
golongan bukan hanya berusaha untuk selalu mempertahankan kelangsungan
golongannya, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajarannya.
Itu merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, tingkat kewajarannya
bukan hanya bisa dinilai dari sisi itu saja, namun juga harus dilihat
dari cara dan sarana yang dipakai untuk mempertahankan kelangsungan dan
penyebaran ajaran golongan itu. Dari sisi ini, kelompok Salafi banyak
melakukan kecurangan-kecurangan yang belum banyak diketahui oleh
kelompok muslim lainnya. Selain kelompok Ahlusunnah biasa, kelompok
Ahli Tasawwuf dari kalangan Ahlusunnah dan kelompok Syiah (di luar
Ahlusunnah) merupakan kelompok-kelompok di luar Wahabi (Salafi) yang
sangat gencar diserang oleh kelompok Salafi. Kelompok Salafi tidak
segan-segan melakukan hal-hal yang tidak ‘gentle’ dalam menghadapi
kelompok-kelompok selain Salafi, terkhusus Syiah. Menuduh kelompok lain
dari saudara-saudaranya sesama muslim sebagai ahli bid’ah, ahli
khurafat, musyrik adalah kebiasaan buruk kaum Salafi, walaupun kelompok
tadi tergolong Ahlusunnah. Disisi lain, mereka sendiri terus berusaha
untuk disebut dan masuk kategori kelompok Ahlusunnah. Berangkat dari
sini, kaum Salafi selalu mempropagandakan bahwa Syiah adalah satu
kelompok yang keluar dari Islam, dan sangat berbeda dengan pengikut
Ahlusunnah. Mereka benci dengan usaha-usaha pendekatan dan persatuan
Sunni-Syiah, apalagi melalui forum dialog ilmiah. Mereka berpikir bahwa
dengan mengkafirkan kelompok Syiah, maka mereka akan dengan mudah
duduk bersama dengan kelompok Ahlusunnah. Padahal realitanya tidaklah
semacam itu. Karena mereka selalu menuduh kelompok Ahlusunnah sebagai
pelaku Bid’ah, Khurafat, Takhayul dan Syirik. Mereka berpikir, sewaktu
seorang pengikut Ahlusunnah melakukan ziarah kubur, tahlil, membaca
shalawat dan pujian terhadap Nabi, istighotsah, bertawassul dan
mengambil berkah (tabarruk) berarti ia telah masuk kategori pelaku
syirik atau ahli bid’ah yang telah jelas konsekwensi hukumnya dalam
ajaran Islam.
Singkat
kata, kebencian itu bukan hanya dilancarkan kepada Ahlusunnah, namun
terlebih pada kelompok Syiah. Kebencian kaum Salafi terhadap Syiah,
bahkan dilakukan dengan cara-cara tidak ilmiah bahkan cenderung arogan
dan premanisme, sebagaimana yang dilakukannya di beberapa tempat.
Mereka tahu bahwa kelompok Syiah sangat produktif dalam penerbitan
buku-buku, terkhusus buku-buku agama. Karya-karya ulama Syiah mampu
mengikuti perkembangan zaman dan dapat memberi masukan dalam
menyelesaikan problem intelektual yang sedang dibutuhkan oleh
masyarakat. Ulama Syiah mampu mengikuti wacana yang sedang berkembang,
plus cara penyampaiannya pun dilakukan dengan cara ilmiah. Hal itulah
yang menyebabkan kecemburuan kelompok Salafi terhadap Syiah kian
menjadi. Akhirnya, sebagai contoh perbuatan licik yang mereka lakukan,
sewaktu diadakan pameran Internasional Book-Fair di Mesir, dimana
kelompok Syiah pun turut memeriahkan dengan membuka beberapa stand di
pameran tersebut, melihat hal itu, kelompok Salafi (Wahabi) memborong
semua kitab-kitab Syiah di stand-stand yang ada, yang kemudian membakar
semua kitab yang dibelinya.[19] Jika mereka berani bersaing dengan
kelompok Syiah dari sisi keilmiahan, kenapa mereka melakukan hal itu?
Perlakuan mereka semacam itu sebagai salah satu bukti kuat, bahwa
mereka tidak terlalu memiliki basis ilmiah yang cukup mumpuni sehingga
untuk menghadapi Syiah, mereka tidak memiliki jalan lain kecuali harus
menggunakan cara-cara emosional yang terkadang cenderung arogan itu.
Cara itu juga yang mereka lakukan terhadap para pengikut tasawuf dan
tarekat yang banyak ditemui dalam tubuh Ahlusunnah sendiri, khususnya di
Indonesia.
Segala
bentuk makar dan kebohongan untuk mengahadapi rival akidahnya
merupakan hal mubah dimata pengikut Salafi (Wahabi), karena kelompok
Salafi masih terus beranggapan bahwa selain kelompoknya masih dapat
dikategorikan pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Perlakuan
mereka terhadap kaum muslimin pada musim haji merupakan bukti yang
tidak dapat diingkari. Yang lebih parah dari itu, para pendukung
kelompok Salafi –yang didukung dana begitu besar- berani melakukan
perubahan pada kitab-kitab standar Ahlusunnah, demi untuk menguatkan
ajaran mereka, yang dengan jelas tidak memiliki akar sejarah dan
argumentasi (tekstual dan rasional) yang kuat. Dengan melobi para
pemilik percetakan buku-buku klasik agama yang menjadi standar ajaran
–termasuk kitab-kitab hadis dan tafsir- mereka berani mengeluarkan dana
yang sangat besar untuk merubah beberapa teks (hadis ataupun ungkapan
para ulama) yang dianggap merugikan kelompok mereka. Kita ambil contoh
apa yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Nuri ad-Dirtsawi, beliau
mengatakan: “Merubah dan menghapus hadis-hadis merupakan kebiasaan
buruk kelompok Wahabi. Sebagai contoh, Nukman al-Alusi telah merubah
tafsir yang ditulis oleh ayahnya, Syeikh Mahmud al-Alusi yang berjudul
Ruh al-Ma’ani. Semua pembahasan yang membahayakan kelompok Wahabi telah
dihapus. Jika tidak ada perubahan, niscaya tafsir beliau menjadi
contoh buat kitab-kitab tafsir lainnya. Contoh lain, dalam kitab
al-Mughni karya Ibnu Qodamah al-Hambali, pembahasan tentang istighotsah
telah dihapus, karena hal itu mereka anggap sebagai bagian dari
perbuatan Syirik. Setelah melakukan perubahan tersebut, baru mereka
mencetaknya kembali. Kitab Syarah Shohih Muslim pun (telah dirubah)
dengan membuang hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat (Allah),
kemudian baru mereka mencetaknya kembali”.[20]
Namun
sayang, banyak saudara-saudara dari Ahlusunnah lalai dengan apa yang
mereka lakukan selama ini. Perubahan-perubahan semacam itu, terkhusus
mereka lakukan pada hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan
keluarga (Ahlul-Bait) Nabi. Padahal, salah satu sisi kesamaan antara
Sunni-Syiah adalah pemberian penghormatan khusus terhadap keluarga
Nabi. Dari sinilah akhirnya pribadi seperti sayyid Hasan bin Ali
as-Saqqaf menyatakan bahwa mereka tergolong kelompok Nashibi (pembenci
keluarga Rasul). Dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan, sewaktu menafsirkan
ayat 214 dari surat as-Syu’ara: “Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabat-mu yang terdekat”, disitu, Rasulullah mengeluarkan
pernyataan berupa satu hadis yang berkaitan dengan permulaan dakwah.
Dalam hadis yang tercantum dalam kitab tafsir tersebut disebutkan,
Rasul bersabda: “Siapakah diantara kalian yang mau menjadi wazir dan
membantuku dalam perkara ini -risalah- maka akan menjadi
saudaraku…(kadza…wa…kadza)…”. Padahal, jika kita membuka apa yang
tercantum dalam tarikh at-Thabari kata “kadza wa kadza” (yang dalam
penulisan buku berbahasa Indonesia, biasa digunakan titik-titik)
sebagai ganti dari sabda Rasul yang berbunyi; “Washi (pengganti) dan
Khalifah-ku”. Begitu pula hadis-hadis semisal, “Aku adalah kota ilmu,
sedang Ali adalah pintunya” yang dulu tercantum dalam kitab Jaami’
al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi
dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar yang beliau nukil dari
Shohih at-Turmudzi, kini telah mereka hapus.
Melakukan
peringkasan kitab-kitab standard, juga sebagai salah satu trik mereka
untuk tujuan yang sama. Dan masih banyak usaha-usaha licik lain yang
mereka lancarkan, demi mempertahankan ajaran mereka, terkhusus ajaran
kebencian terhadap keluarga Nabi. Sementara sudah menjadi kesepakatan
kaum muslimin, bahwa mencintai keluarga Nabi adalah suatu kewajiban,
sebagaimana Syair yang pernah dibawakan oleh imam Syafi’i:
“Jika
mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah
wahai ats-Tsaqolaan (jin dan manusia) bahwa aku adalah Rafidhi”.[21]
SALAFI (WAHABI) DAN KHAWARIJ
Tidak
berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi
(Salafi) memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij. Melihat,
dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang
sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi.
Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah
pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini.
Disini,
secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok
Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci
Rasulullah saw, dimana Rasul memberi julukan golongan sesat itu
(Khawarij) dengan sebutan “mariqiin”, yang berarti ‘lepas’ dari Islam
sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.[22]
Paling tidak ada enam kesamaan antara dua golongan ini yang bisa disebutkan:
Pertama,
sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim
dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang
muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Yang semua
itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal
memiliki kesamaan dari konsekwensi hukumnya. Abdullah bin Umar dalam
mensifati kelompok Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat
yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk
menyerang orang-orang beriman”.[23] Ciri-ciri semacam itu juga akan
dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok Salafi (Wahabi)
berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim. Bisa dilihat, betapa
mudahnya para rohaniawan Wahabi (muthowi’) menuduh para jamaah haji
sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap
tidak sesuai dengan akidah mereka.
Kedua,
sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum
dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah
berhala mereka biarkan”,[24] maka sejarah telah membuktikan bahwa
kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu.
Sebagaimana yang pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh
pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Pembantaian berbagai kabilah dari
kaum muslimin mereka lakukan dibeberapa tempat, terkhusus diwilayah
Hijaz dan Iraq kala itu.
Ketiga,
sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan
keluar dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku
dosa besar dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang
sama.
Keempat,
seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri
dan mempersempit ruang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum
Wahabi pun mempunyai kendala yang sama.
Kelima,
kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran
yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama. Oleh
karenanya, ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh
Bukhari dalam kitab Shahihnya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok
Wahabi. Rasul bersabda: “Beberapa orang akan muncul dari belahan Bumi
sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak
melebihi batas temggorokan. Mereka telah keluar dari agama (Islam),
sebagaimana terkeluarnya (lepas) anak panah dari busurnya. Tanda-tanda
mereka, suka mencukur habis rambut kepala”.[25] Al-Qistholani dalam
mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi sebelah timur”
yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah Najd.[26] Sedang
dalam satu hadis disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di
sana terdapat berbagai goncangan, dan dari sana pula muncul banyak
fitnah”.[27] Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Disana akan
muncul qorn setan”. Dalam kamus bahasa Arab, kata qorn berartikan umat,
pengikut ajaran seseorang, kaum atau kekuasaan.[28] Sedang kita tahu,
kota Najd adalah tempat lahir dan tinggal Muhammad bin Abdul Wahab
an-Najdi, pendiri Wahabi. Kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme,
dan dari situlah pemikiran Wahabisme disebarluaskan kesegala penjuru
dunia. Banyak tanda zahir dari kelompok tersebut. Selain mengenakan
celana atau gamis hingga betis, mencukur rambut kepala sedangkan
jenggot dibiarkan bergelayutan tidak karuan adalah salah satu syiar dan
tanda pengikut kelompok ini.
Keenam,
sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar
al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan dosa besar, maka dapat
dikategorikan “negara zona perang” (Daar al-Harb), kelompok radikal
Wahabi pun meyakini hal tersebut. Sekarang ini dapat dilihat, bagaimana
kelompok-kelompok radikal Wahabi –seperti al-Qaedah- melakukan aksi
teror diberbagai tempat yang tidak jarang kaum muslimin juga sebagai
korbannya.
Tulisan
ringkas ini mencoba untuk mengetahui tentang apa dan siapa kelompok
Salafi (Wahabi). Semoga dengan pengenalan ringkas ini akan menjadi
kejelasan akan kelompok yang disebut-sebut sebagai Salafi ini, yang
mengaku penghidup kembali ajaran Salaf Saleh. Sehingga kita bisa lebih
berhati-hati dan mawas diri terhadap aliran sesat dan menyesatkan yang
telah menyimpang dari Islam Muhammadi tersebut.
Rujukan:
[2] Lisan al-Arab Jil:6 Hal:330
[3] As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Hal:9, karya Dr. M Said Ramadhan Buthi
[4] As-Shohwat al-Islamiyah Hal:25, karya al-Qordhowi
[5] Al-Aqoid as-Salafiyah Hal: 11, karya Ahmad bin Hajar Aali Abu Thomi
[6] Al-Madzahib al-Islamiyah Hal:331, karya Muhammad Abu Zuhrah
[7]
Untuk lebih jelasnya, dapat ditelaah lebih lanjut kitab tebal karya
penulis Arab al-Ustadz Nasir as-Sa’id tentang sejarah kerajaan Arab
Saudi yang diberi judul “Tarikh aali Sa’ud”. Karya ini berulang kali
dicetak. Disitu dijelaskan secara detail sejarah kemunculan keluarga
Saud di Jazirah Arab hingga zaman kekuasaan raja Fahd. Dalam karya
tersebut, as-Said menetapkan bahwa keluarga Saud (pendiri) kerajaan
Arab Saudi masih memiliki hubungan darah dan emosional dengan Yahudi
Arab.
[8]
Selengkapnya silahkan lihat: As-Salafiyah al-Wahabiyah, karya Hasan
bin Ali as-Saqqaf, cet: Daar al-Imam an-Nawawi, Amman-Yordania
[9] Al-Milal wa an-Nihal Jil:1 Hal:165, karya as-Syahrastani
[10] Fi ‘Aqo’id al-Islam Hal:155, karya Muhammad bin Abdul Wahab (dalam kumpulan risalah-nya)
[11]
Ayat-ayat al-Quran yang bebunyi “afalaa ta’qiluun” (Apakah kalian
tidak memakai akal) atau “Afalaa tatafakkarun” (Apakah kalian tidak
berpikir) dan semisalnya akan sangat mudah kita dapati dalam al-Quran.
Ini semua salah satu bukti konkrit bahwa al-Quran sangat menekankan
penggunaan akal dan mengakui keturutsertaan akal dalam memahami
kebenaran ajaran agama.
[12] Q S Thoha:5
[13] Al-Washiyah al-Kubra Hal:31 atau Naqdhu al-Mantiq Hal:119 karya Ibnu Taimiyah
[14] Q S as-Syura:11
[15] Al-Milal wa an-Nihal Jil:1 Hal:84
[16]
Banyak hal yang terbukti dengan argumen teks yang mencakup ayat,
riwayat, ungkapan dan sirah para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in
diperbolehkan, namun paea kelompok Salafi (Wahabi) mengharamkannya,
seperti masalah; membangun dan memberi cahaya lampu pada kuburan,
berdoa disamping makam para kekasih Ilahi (waliyullah), mengambil
berkah dari makam kekasih Allah, menyeru atau meminta pertolongan dan
syafaat dari para kekasih Allah pasca kematian mereka, bernazar atau
sumpah atas nama para kekasih Allah, memperingati dan mengenang
kelahiran atau kematian para kekasih Allah, bertawassul, dan
melaksanakan tahlil (majlis fatehah)…semua merupakan hal yang
diharamkan oleh para kelompok Salafi, padahal banyak ayat dan riwayat,
juga prilaku para Salaf yang menunjukkan akan diperbolehkannya hal-hal
tadi.
[17]
Salah satu bentuk penyimpangan kelompok Wahabi terhadap ajaran imam
Ahmad bin Hambal adalah pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap berbagai
hadis berkaitan dengan keutamaan keluarga Rasul, yang Imam Ahmad
sendiri meyakini keutamaan mereka dengan mencantumkannya dalam kitab
musnadnya. Dari situ akhirnya Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari
hadis-hadis tersebut, bahkan melakukan pelecehan terhadap keluarga
Rasul, terkhusus Ali bin Abi Thalib. (lihat: Minhaj as-Sunnah Jil:8
Hal:329) Dan terbukti, kekhilafahan Ali sempat “diragukan” oleh Ibnu
Taimiyah dalam kitabnya “Minhaj as-Sunnah” (lihat: Jil:4 Hal:682), dan
ia termasuk orang yang menyebarluaskan keraguan itu. Padahal, semua
kelompok Ahlusunnah “meyakini” akan kekhilafahan Ali. Lantas, masihkah
layak Ibnu Taimiyah beserta pengikutnya mengaku sebagai pengikut
Ahlussunnah?
[18] al-Aqidah li al-Imam Ahmad bin Hambal Hal:38
[19] As-Salafiyah baina Ahlusunnah wa al-Imamiyah Hal:680
[20] Rudud ‘ala Syubahaat as-Salafiyah Hal:249
[21] Diwan as-Syafi’i Hal:55
[22] Musnad Ahmad Jil:2 Hal:118
[23] Sohih Bukhari Jil:4 Hal:197
[24] Majmu’ al-Fatawa Jil:13 Hal:32, karya Ibnu Taimiyah
[25] Shahih Bukhari, kitab at-Tauhid Bab:57 Hadis ke-7123
[26] Irsyad as-Saari Jil:15 Hal:626
[27] Musnad Ahmad Jil:2 Hal:81 atau Jil:4 Hal:5
[28] Al-Qomuus Jil:3 Hal:382 kata: Qo-ro-na
1 komentar:
asek artikelnya bos,,, ayas stuju bgt
Posting Komentar