Jelek
dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an,
Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).
Dalam
ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena
yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah
kapal yang baik كل سفينة حسنة .
Selain
itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip
Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan,
apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama,
jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka
perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama
sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.
Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang
digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah.
Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka
dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat
mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang),
maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.
Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan
timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib,
sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam
salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut.
Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.
Syeikh
Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang
jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i,
seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti
mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah
paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal
ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah
idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik
tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah
tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan
sebagai sunnah atau bukan bid’ah.
Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang
diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama
kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang
cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang
melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk
sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.
Hukum
bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab
Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang
hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan
Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing
(garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.
Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti
aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang
hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua
hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang
hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau
menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti
berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan
minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang
serupa.
Dengan
penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa
memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat
tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua
bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar
malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.
--(KH.
A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah
wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)
0 komentar:
Posting Komentar