·
Apa yang
dimaksud Bid’ah dalam hadits Rasulallah saw.?
·
Contoh-contoh
Bid’ah yang diamalkan para Sahabat pada zaman Nabi saw.
·
Dalil-dalil
yang berkaitan dengan Qadha dalam Sholat
·
Sholat
sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
·
Mengangkat tangan waktu berdo’a
·
Menyebut nama Rasul saw.dengan awalan kata sayyidina
·
Penggunaan Tasbih waktu berdzikir bukanlah bid’ah
sesat.
|
Setelah adanya
uraian singkat tapi cukup jelas pada halaman sebelum ini mengenai faham
Salafi/Wahabi dan pengikutnya, marilah kita teruskan mengupas apa yang
dimaksud Bid’ah menurut syari’at Islam serta wejangan/
pandangan para ulama pakar tentang masalah ini. Dengan demikian insya
Allah buat kita lebih jelas bidáh mana yang dilarang dan yang dibolehkan
dalam syari’at Islam.
Sunnah dan bid’ah adalah
dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulallah
saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at).
Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas
pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya
lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa
menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam
pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka
terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri
tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu
tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. Umpamanya dalam
hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih
dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulallah saw. bila berkhutbah
tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma
ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan
petunjuk (huda)yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan
persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang
diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan
juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa
Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis
jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya
sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam
merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya
sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11 hal.61).
Selain hadits ini masih beredar lagi hadits-hadits yang semakna yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah [ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan dengan
soal shadaqah namun kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama
menetapkan; ‘Pengertian berdasar kan keumuman lafadh, bukan berdasarkan
kekhususan sebab’.
Dari hadits Jabir yang pertama diatas
kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw.,
berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi
Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat
bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan
(sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah,
sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab
Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah
sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw. berarti Jalan Rasulallah
saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah dapat
diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya.
. Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah
yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada
Sunnatullah itu’ .
Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang
hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak
berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan
kepada keridhoan Allah swt. Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us
Shiratul Mustaqim hal.76 mengata- kan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat
kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam
hal itu berartiadat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang
berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang
dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam
Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna
kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits
menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah,dan
bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid
dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami
sunnah Rasulallah saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada
zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan
tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh
orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal
pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri
persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang
ditempuh Rasulallah saw. dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang
dilakukan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita
dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai
soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulallah saw. Mana yang baik dan
sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan
mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulallah saw.,
itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui
setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan
mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa
sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh
Rasulallah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar,
akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga
bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulallah saw. membiarkan atau
menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali
kejadian yang dibiarkan Rasulallah saw. tidak menjadi sunnah dan
tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan
dilakukan oleh beliau saw. pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak
diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau
dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak
menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan
tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan
para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik
yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu
tidak dilakukan dan tidak diperintah- kan secara khusus oleh Rasulallah saw.!
Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan
bahwa Rasulallah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan,
dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan
baca halaman selanjutnya). Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan
mengerjakan- nya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang
dilakukan- nya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan
secara umum diserukan oleh Rasulallah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga
mereka berpedoman pada firman Allah swt. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah
kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan
atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap
orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai
kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal
kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw.
berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah
Rasulallah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan
syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat
dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua
amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw, dan tidak mendatangkan madharat/akibat
buruk, tidak dapat disebut Bid’ahmenurut pengertian istilah syara’.
Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat
dalam hadits Rasulallah saw. yang lalu.
Amal kebajikan
seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertianbahasa,
karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan namaBid’ah.
Ada orang berpegang
bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda
Rasulallah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin
dholalah”), serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan
sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid’ah, maka hukumya haram,
karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja- kan
secara mutlak.
Sayangnya mereka
ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan lebih mendetail
baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulallah saw. yang
membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’
) yang dilakukan oleh para sahabat- nya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada
perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak
sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulallah saw.
umpamanya oleh isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin
Khattab serta para sahabat lainnya yang
mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw.
dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid’ah (baca
uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang
mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan
tidak ada kata bid’ah selain haram.
Untuk mencegah
timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih
memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam
Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat
Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا
وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan
bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah
bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang
tercela’.
Kedua, riwayat
Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ
ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ
اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ
الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ
مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara
baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an,
Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat.
Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak
bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang
seperti ini tidaklah tercela’.
Menurut kenyataan
memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang
buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat
dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih
jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam
Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Ada sebagian ulama
yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek baik termasuk dalam
ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah terjadi di masa
Rasulullah saw. Meski namanya bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum
syari’at,, hukumnya tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam
fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut Al-Hafidh
Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya
bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang
bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah
itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’,
maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap
jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk
bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum
yang lima”.
Pendapat beliau ini
senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin
as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam
risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al
Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam
Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam
Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang
senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi
yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh
hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa
macam. Ada bidáh mukaffarah(bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh
haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak
menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk
ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak
perlu dibicarakan.
Sedangkan menurut
catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang ulama
Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy
Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama
(diantraranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154—pen.) bid’ah itu
dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah
wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewengkan
agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu.
2. Bid’ah
mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan
sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara dan memakai pengeras
suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuh an Islam belum pernah
dilakukan.
3. Bid’ah
makruh; menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan
yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-Qur’an dengan
lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak semestinya.
4. Bid’ah
mubah; seperti menggunakan saringan
(ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama tidak mengganggu
kesehatan) dan lain sebagainya.
5. Bid’ah haram; semua perbuatan
yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan tidak mengandung
kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at.
Bila
semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka
sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah
dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya dholalah atau haram,
misalnya :
a). Pengumpulan
ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai
Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab
dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk
menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah.
Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena
orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b).
Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam
shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan
ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian
gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada
universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak
para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka
memakai titel dibelakang namanya.
d).
Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti
asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung
orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahunbaik
itu kesalahan kecil maupun besar dan
sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah
diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e).
Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah
Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at
baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam
lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat
Islam.
f).
Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer
pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan
sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat
dan sebagainya.
g).
Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw… Kita tidak terikat harus meneruskan
cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw.,
lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank
raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi
contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru seperti mengada kan syukuran waktu
memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memper- ingati hari ulang tahun
berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada
waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan
syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidup- nya
Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik
haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya
Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan
hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga orang
tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap)
untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji
tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid’ah
(masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi
saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at
Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah
baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu
ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang tehnologi yang sangat maju
sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak
sedangkal itu.
Sebagaimana telah
penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i, Al-Izz
bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta para ulama lainnya menerangkan:
“Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang
dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal
kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan
yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulallah saw. telah
diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw. dan
kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa
tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji
ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah
tercela.
Ibnu Taimiyyah
dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan
bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang
hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya.
Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya
Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau
tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang
mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas,
Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara kebajikan
yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin
Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat
gunung ’Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya
didalam masjid tertentu sebelum Mekkah ,mengusap-usap
mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan
pendapat kaum muslimin di Syam yangmensunnahkan shalat disebuah
tempat dalam masjid Al-aqsha(Palestina), tempat khalifah Umar
dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai
sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad
mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian
diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu,
dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal
itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman
sebelum- nya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah
serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitabIqtidha ini,
antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh
isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutupmakam
Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa
lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama
sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid’ah)
tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan
mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang
diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti
‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra.
sendiri berkata bahwa ia tidak pernahmenyaksikan
Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga
mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dariMujahid yang
mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw..
Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra
dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan
kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab
: “Bidáh”.
‘Aisyah ra seorang
isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia
sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga ‘Abdullah
bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah,
tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah
dholalah yang pelakunya akan dimasukkan keneraka!
Dengan demikian
masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah
hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi
atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya
itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya
ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah
mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil
ijtihad.
Dalam makalah
As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal
Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebut- kan: Yang
dikatakan oleh orang fanatik (extreem) bahwa apa-apa yang belum pernah
dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama
sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu
ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar’i (Rasulallah saw.) menyebutnya bid’ahtul
hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan
Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah
swt. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung’. (Ali Imran (3) : 104).
Allah swt.
berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh
keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud
(Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;
وَعَنْ أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ
نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ
أَجْرُ فَاعِلُهُ(رواه مسلم)
‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia
mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. (
HR.Muslim)
Dalam hadits
riwayat Muslim Rasulallah saw. bersabda:
‘Barangsiapa
menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya
dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun,
dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia
terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengamalkannya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun” .
Masih banyak lagi
hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari
Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan
memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimatsunnah dalam
hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulallah
saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak
terjadi pada masa Rasulallah saw dan Khulafa’ur Rosyidin.Yang lain lagi
memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimatsunnah hasanah dalam
hadits itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang
diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam
pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan
itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena
secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan
pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada
masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua
perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik
dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama!!
Kami perlu
tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulallah saw. berikut ini:
“Hendaklah
kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun
sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam
hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan
sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksudKhalifah Rasyidun ialah para
penerus kepemimpinan beliau yang lurus.Sebutan itu tidak terbatas berlaku
bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulallah saw. saja, tetapi dapat
diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama
adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu dapat
berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman,
mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan
seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut
dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan
itu) kepada Rasulallah dan Ulul-amri (orang-orang yang
mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui
dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan
kaum awamyang mengurus
kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka
itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu
Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw.(sebagai
Nabi dan Rasulallah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena
itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah
“ . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam
Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan
pengertian penakwilan
kalimat sunnah dalam hadits diatasyang
salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman
hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat)
terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar
syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu
antara penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara
bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang
terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’iyaitu
setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at. Jadi
bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru
yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi
inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu
perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar
syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang
kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak
bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang
dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau
sesudahnya.
Barangsiapa yang
memasukkan semua perkara baru yang
tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw, para sahabat dan mereka yang hidup
pada abad-abad pertama itu kedalam
bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash
yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum),
agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul
berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid’ah
dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan
tersebut.
Kalau kita baca
hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin
menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita
kepada Allah swt. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan
yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh
keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun
juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah
swt. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.
Apakah kita hanya
berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah dan kita
buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia
selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa
kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya
oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi
memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulallah saw. sehingga
ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan
itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja. Termasuk
juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik
antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak
memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta.
Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh
orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya
sendiri. Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim
yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari
mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati
untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri
pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak
asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.
Contoh-contoh
bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita
sekarang rujuk hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai amal kebaikan yang
dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan
perintah Allah swt. atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapi
masalah itu. Insya Allah dengan adanya beberapa hadits ini para pembaca cukup
jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak
pernah diamalkan, diajarkan atau diperintah- kan oleh Rasulallah saw. selama
hal ini tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at
itu adalah boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan
oleh agama dan mendapat pahala.
0 komentar:
Posting Komentar