Nasab Beliau
Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha bin Umar bin Thoha bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- ImamMuhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein Rodiyallahu ‘Anhum
Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha bin Umar bin Thoha bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- ImamMuhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein Rodiyallahu ‘Anhum
Habib Abdurrahman lahir tahun 1908 di
Cimanggu, Bogor. Beliau adalah putra Habib Ahmad bin AbdulQadir Assegaf.
Ayahandanya sudah wafat ketika beliau masih kecil, tapi kondisi itu tidak
menjadi halangan baginya untuk giat belajar.
Pernah mengenyam pendidikan di Jami’at Al-Khair, Jakarta, masa kecilnya sangat memperihatinkan, sebagaimana diceritakan anaknya,Habib Ali bin Abdurrahman “Walid itu orang yang tidak mampu. Bahkan beliau pernah berkata, “Barangkali dari seluruh anak yatim, yang termiskin adalah saya. Waktu lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu”. Tidurnya pun di bangku sekolah. Tapi, kesulitan seperti itu tidak menyurutkannya untuk giat belajar.”
Pernah mengenyam pendidikan di Jami’at Al-Khair, Jakarta, masa kecilnya sangat memperihatinkan, sebagaimana diceritakan anaknya,Habib Ali bin Abdurrahman “Walid itu orang yang tidak mampu. Bahkan beliau pernah berkata, “Barangkali dari seluruh anak yatim, yang termiskin adalah saya. Waktu lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu”. Tidurnya pun di bangku sekolah. Tapi, kesulitan seperti itu tidak menyurutkannya untuk giat belajar.”
Ketika masih belajar di Jami’at Al-Khair,
prestasinya sangat cemerlang. Beliau selalu menempati peringkat pertama.
Nilainya bagus, akhlaqnya menjadi teladan teman-temannya. Untuk menuntut ilmu
kepada seorang ulama, beliau tak segan-segan melakukannya dengan bersusah payah
menempuh perjalanan puluhan kilometer. “Walid itu kalau berburu ilmu sangat
keras. Beliau sanggup berjalan berkilo-kilo meter untuk belajar ke Habib
Abdullah bin Muhsin Al-Aththas (Habib Empang Bogor).”
Selain Habib Empang, guru-guru Habib
Abdurrahman yang lain adalah Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad ( Mufti Johor,
Malaysia ), Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir AlHaddad, Habib Ali bin Husein
Al-Aththas ( Bungur, Jakarta ), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi ( Kwitang,
Jakarta ), K.H.Mahmud ( Ulama besar Betawi ) dan Prof.Abdullah bin Nuh ( Bogor
).
Semasa menunutut ilmu, Habib Abdurrahman
sangat tekun dan rajin, itulah sebabnya beliau mampu menyerap ilmu yang
diajarkan guru-gurunya. Ketekunannya yang luar biasa mengantarnya menguasai
semua bidang ilmu agama. Kemampuan berbahasa yang baguspun mengantarnya menjadi
penulis dan orator yang handal. Beliau tidak hanya sangat menguasai bahasa
Arab, tapi juga bahasa Sunda dan Jawa halus.
Habib Abdurrahman tidak sekadar disayang
oleh para gurunya, tapi lebih dari itu, beliau pun murid kebanggaan. Beliaulah
satu-satunya murid yang sangat menguasai tata bahasa Arab, ilmu alat yang
memang seharusnya digunakan untuk memahami kitab-kitab klasik yang lazim
disebut “kitab kuning”. Para gurunya menganjurkan murid-murid yang lain mengacu
pada pemahaman Habib Abdurrahman yang sangat tepat berdasarkan pemahaman dari
segi tata bahasa.
Setelah menginjak usia dewasa, Habib Abdurrahman dipercaya sebagai guru di madrasahnya. Disinilah bakat dan keinginannya untuk mengajar semakin menyala. Beliau menghabiskan waktunya untuk mengajar. Dan hebatnya, Habib Abdurrahman ternyata tidak hanya piawai dalam ilmu-ilmu agama, tapi bahkan juga pernah mengajar atau lebih tepatnya melatih bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik ( dari seruling sampai terompet ), drum band, bahkan juga baris-berbaris.
Setelah menginjak usia dewasa, Habib Abdurrahman dipercaya sebagai guru di madrasahnya. Disinilah bakat dan keinginannya untuk mengajar semakin menyala. Beliau menghabiskan waktunya untuk mengajar. Dan hebatnya, Habib Abdurrahman ternyata tidak hanya piawai dalam ilmu-ilmu agama, tapi bahkan juga pernah mengajar atau lebih tepatnya melatih bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik ( dari seruling sampai terompet ), drum band, bahkan juga baris-berbaris.
Belakangan, ketika berusia 20 tahun,
beliau pindah ke Bukit Duri dan berbekal pengalaman yang cukup panjang,
beliaupun mendirikan madrasah sendiri, Madrasah Tsaqafah Islamiyyah, yang
hingga sekarang masih eksis di Bukit Duri,Jakarta . Sebagai madrasah khusus,
sampai kini Tsaqafah Islamiyah tidak pernah merujuk kurikulum yang ditetapkan
oleh pemerintah, mereka menerapkan kurikulum sendiri dan uniknya, Madrasah ini
menggunakan buku-buku terbitan sendiri yang disusun oleh sang pendiri, Habib
Abdurrahman Assegaf.. Disini, siswa yang cerdas dan cepat menguasai ilmu bisa
loncat kelas.
Dunia pendidikan memang tak mungkin
dipisahkan dari Habib Abdurrahman, yang hampir seluruh masa hidupnya beliau
baktikan untuk pendidikan. Beliau memang seorangguru sejati. Selain
pengalamannya banyak, dan kreativitasnya dalam pendidikan juga luar biasa,
pergaulannya pun luas. terutama dengan para ulama dan kaum pendidikJakarta.
Dalam keluarganya sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya sebagai sosok ayah yang konsisten dan disiplin dalam mendidik anak. Beliau selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk menguasai berbagai disiplin ilmu, dan menuntut ilmu kepada banyakguru. Sebab ilmu yang dimilikinya tidak dapat diwariskan.
Dalam keluarganya sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya sebagai sosok ayah yang konsisten dan disiplin dalam mendidik anak. Beliau selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk menguasai berbagai disiplin ilmu, dan menuntut ilmu kepada banyakguru. Sebab ilmu yang dimilikinya tidak dapat diwariskan.
“Beliau konsisten dan tegas dalam
mendidik anak. Beliau juga menekankan bahwa dirinya tidak mau meninggalkan
harta sebagai warisan untuk anak-anaknya. Beliau hanya mendorong anak-anaknya
agar mencintai ilmu dan mencintai dunia pendidikan. Beliau ingin kami konsisten
mengajar, karenanya beliau melarang kami melibatkan diri dengan urusan politik
maupun masalah keduniaan, seperti dagang, membuka biro haji dan sebagainya.
Jadi, sekalipun tidak besar, ya….sedikit banyak putra-putrinya bisa mengajar,”
kata Habib Umar merendah.
Habib Abdurrahman mempunyai putra dan
putri 22 orang; diantaranya Habib Muhammad, pemimpin pesantren di kawasan
Ceger; Habib Ali, memimpin Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet; Habib
Alwi, memimpin Majlis Taklim Zaadul Muslim di Bukit Duri; Habib Umar, memimpin
pesantren dan Majlis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukit Duri dan Habib Abu
Bakar, memimpin pesantren Al-Busyro di Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan
orang.
Sebagai Ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari Tauhid, Tafsir, Akhlaq, Fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu danSunda yang ditulis dengan huruf Arab- dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Sebagai Ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari Tauhid, Tafsir, Akhlaq, Fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu danSunda yang ditulis dengan huruf Arab- dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Kitab karyanya, antara lain, Hilyatul
Janan fi Hadyil Qur’an, Syafinatus Said, Misbahuz Zaman, Bunyatul Umahat dan
Buah Delima. Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah terbatas dan
memang hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah
Tsaqafah Islamiyyah.
Habib Abdurrahman juga dikenal sebagai
ulama yang sangat disiplin, sederhana dan ikhlas. Dalam hal apapun beliau
selalu mementingkan kesederhanaan. Dan kedisiplinannya tidak hanya dalam hal
mengajar, tapi juga dalam soal makan. “Walid tidak akan pernah makan sebelum
waktunya. Dimanapun ia selalu makan tepat waktu.” Kata Habib Ali.
Mengenai keikhlasan dan kedermawanannya, beliau selalu siap menolong siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Pada tahun 1960-an, Habib Abdurrahman mengalami kebutaan selama lima tahun. Namun musibah itu tak menyurutkan semangatnya dalam menegakkkan syiar islam. Pada masa-masa itulah beliau menciptakan rangkaian syair indah memuji kebesaran Allah swt dalam sebuah Tawasul, yang kemudian disebut Tawasul Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Mengenai keikhlasan dan kedermawanannya, beliau selalu siap menolong siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Pada tahun 1960-an, Habib Abdurrahman mengalami kebutaan selama lima tahun. Namun musibah itu tak menyurutkan semangatnya dalam menegakkkan syiar islam. Pada masa-masa itulah beliau menciptakan rangkaian syair indah memuji kebesaran Allah swt dalam sebuah Tawasul, yang kemudian disebut Tawasul Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Sebagai Ulama besar, Habib Abdurrahman
juga dikenal memiliki karomah. Misalnya, ketika beliau membuka Majlis Taklim
Al-Buyro di Parung Banteng Bogor sekitar tahun 1990, sebelumnya sangat sulit
mencari sumber air bersih di Parung Banteng Bogor. Ketika membuka majlis Taklim
itulah, Habib Abdurrahman bermunajat kepada Allah swt selama 40 hari 40 malam,
mohon petunjuk lokasi sumber air. Pada hari ke 41, sumber belum juga ditemukan.
Maka Habib Abdurrahman pun meneruskan munajatnya.
Tak lama kemudian, entah darimana,
datanglah seorang lelaki membawa cangkul. Dan serta merta ia mencangkul tanah
dekat rumah Habib Abdurrahman. Setelah mencangkul, ia berlalu dan tanah bekas
cangkulan itu ditinggal, dibiarkan begitu saja. Dan, subhanallah, sebentar
kemudian dari tanah bekas cangkulan itu merembeslah air. Sampai kini sumber air
bersih itu dimanfaatkan oleh warga Parung Banteng, terutama untuk keperluan
Majelis Taklim Al-Busyro. Menurut penuturan Habib Abdurrahman, lelaki
pencangkul itu adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Wafatnya Habib Abdurrahman Assegaf
Suatu hari, seorang santri Darul Musthafa, Tarim Hadramaut, asal Indonesia, mendapat pesan dari seoranh ulama besar disana, Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi Syahab. “Saya mimpi bertemu Rasulullah SAW, tapi wajahnya menyerupai Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Tolong beritahu anak-anak beliau di Indonesia. Katakan, mulai saat ini, jangan jauh-jauh dari walid ( orang tua ).”
Suatu hari, seorang santri Darul Musthafa, Tarim Hadramaut, asal Indonesia, mendapat pesan dari seoranh ulama besar disana, Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi Syahab. “Saya mimpi bertemu Rasulullah SAW, tapi wajahnya menyerupai Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Tolong beritahu anak-anak beliau di Indonesia. Katakan, mulai saat ini, jangan jauh-jauh dari walid ( orang tua ).”
Sang santri itu langsung menelepon
keluarganya di Indonesia. Hingga akhirnya kabar dari ulama Hadramaut itu
diterima keluarga Habib Abdurrahman di Bukit Duri Jakarta. Seminggu kemudian,
apa yang diperkirakan itu pun tiba. Tepatnya Senin Siang jam 12.45, 26 Maret
2007, bertepatan dengan 7 rabiul Awal 1428 H, langit Jakarta seakan mengelam.
Kaum muslim ibu kota terguncang oleh berita wafatnya Al-Alamah Al-Arif Billah
Al-Habib Abdurrahman Assegaf, dalam usia kurang lebih 100 tahun.
Jenazah ulama besar yang ilmu, akhlaq
dan keistiqamahannya sangat dikagumi itu, disemayamkan di ruang depan rumahnya
yang bersahaja, tepat di sisi Sekretariat Yayasan Madrasah Tsaqofah Islamiyah,
di jln. Perkutut no.273, Bukit Duri Puteran , Tebet, Jakarta Selatan. Kalimat
tahlil dan pembacaan Surat Yaa siin bergema sepanjang hari sampai menjelang
pemakamannya keesokan harinya. Sebuah tenda besar tak mampu menampung gelombanh
jemaah yang terus berdatangan bak air bah. Pihak keluarga memutuskan pemakaman
akan dilakukan ba’da zhuhur di pemakaman Kampung Lolongok, tepatnya di belakang
Kramat Empang.
Acara pelepasan jenazah dibuka dengan
sambutan dari pihak keluarga, yang diwakili Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf.
Dengan nada sendu, pengasuh Majlis Taklim Al-Affaf itu mengucapkan terima kasih
kepada para pecinta Habib Abdurrahman Assegaf yang telah datang bertakziah dan
membantu proses pengurusan jenazah. Selanjutnya putra kedua Habib Abdurrahman
tersebut mengungkapkan keutamaan-keutamaan almarhum.”Beliau rindu kepada
Rasulullah SAW. Beliau ungkapkan rasa rindu itu lewat sholawat-sholawat yang
tak pernah lepas dari bibirnya setiap hari.” Katanya.
Puluhan ribu pelayat yang berdiri berdesak-desakan pun mulai sesunggukan karena terharu. Apalagi ketika Habib Ali, yang berbicara, tampil dengan suara bergetar.
Puluhan ribu pelayat yang berdiri berdesak-desakan pun mulai sesunggukan karena terharu. Apalagi ketika Habib Ali, yang berbicara, tampil dengan suara bergetar.
“hari ini, tidak seperti hari-hari yang
lalu, kita berbicara tentang bagaimana memelihara anak yatim. Tapi, kali ini,
kita semua menjadi anak-anak yatim.” Kata Habib Ali, yang mengibaratkan hadirin
sebagai anak yatim. Betapa tidak, Habib Abdurrahman dianggap sebagai orang tua
tidak hanya oleh keluarganya, tapi juga oleh jamaah. Semasa hidupnya, beliau
senantiasa mengayomi, membimbing dan setia mendengar keluh kesah jamaah. Tapi
kini, sang pelita itu telah pergi. Sebagian hadirin terguguk menangis, bahkan
ada yang histeris.
“Kepergian Walid sudah diramal jauh-jauh
hari. Suatu hari beliau pernah berkata kepada saya, “Umimu dulu yang bakal
berpulang kepada Allah swt, setelah itu baru saya. Dan benarlah, ibunda
Hj.Barkah ( istri Walid ) berpulang sekitar tujuh bulan yang lalu, tepatnya
pada 26 Juli 2006. wali juga pernah berkata kepada keluarga, “Saya pulang pada
hari senin, kasih tahu saudara-saudaramu.”
Jam 12.00, jenazah disholatkan di depan
kediaman Walid, dengan Imam, Habib Abdul Qadir bin Muhammad Al-Haddad 9 Al-Hawi
Condet ). Pada hari itu juga, besan Habib Abdurrahman, Syarifah Rugayah binti
Muhammad bin Ali Al-Attas juga wafat. Pukul 13.00, iring-iringan jenazah mulai
bergerak menuju Empang Bogor, melalui jalan Tol Jagorawi. Ribuan kendaraan
mengiringi ambulance yang membawa jenazah.
Disaat mobil jenazah yang didihului dua
mobil pengawal dari kepolisian mendekati pintu makam pukul 16.15, konsentrasi
massa yang terpusat disitu luar biasa banyaknya. Suasana pun menjadi agak
gaduh. Maka setelah jenazah dikeluarkan dari mobil ambulance dan dibawa menuju
liang lahat sekitar 30 meter dari pintu masuk, suasana penuh kesedihan sungguh
sangat terasa. Banyak yang tak kuasa menahan tangis.
Segera setelah itu, jenazah dimasukkan
ke liang lahat sambil terus diiringi dzikir yang tak henti dari para jemaah.
Mewakili Shohibul bait, Habib Hamid bin Abdullah al-Kaff, pengasuh pondok pesantren Al-Haramain Asy-Syarifain Pondok Ranggon Cipayung, memberikan tausiyah, “Sungguh kita bersama-sama telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam lampu yang sangat besar, yang menerangi kota Jakarta,” katanya.
Mewakili Shohibul bait, Habib Hamid bin Abdullah al-Kaff, pengasuh pondok pesantren Al-Haramain Asy-Syarifain Pondok Ranggon Cipayung, memberikan tausiyah, “Sungguh kita bersama-sama telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam lampu yang sangat besar, yang menerangi kota Jakarta,” katanya.
“Beruntunglah murid-muridnya yang telah
menimba ilmu pada almarhum. Ingatlah selalu pesan almarhum, saya sering
mendengar pada acara haul, kalau saya sudah meninggal dunia, perbanyaklah
mengirimkan fatihah untuk saya.’ Maka marila dalam pembacaan Fatihah-fatihah
yang biasa kita baca, kita kirim untuk almarhum.”
0 komentar:
Posting Komentar